Selasa, 28 November 2023

Isak Tangis Menemani Hingga Akhir Hayat

Ilustrasi adik dan kakak. Foto: Unsplash

            Malam itu, suhu tubuh putramu semakin tinggi hingga 40 derajat selsius. Kau sangat gelisah dan resah. Tak lama dari kegelisahanmu, putra kecil kesayanganmu kaku dan kejang. Rasa gelisah dan resahmu pun berganti menjadi takut dan khawatir dan putramu langsung kau larikan ke Rumah Sakit Prikasih. Di tengah perjalanan menuju rumah sakit, kau sangat takut karena nafas putramu sempat terhenti. Pertolongan pertama yang kau berikan dengan membuka mulut putramu sambil kau bacakan shalawat. Syukur kau panjatkan, saat nafas putramu kembali setelah kau beri pertolongan pertama sebelum sampai di rumah sakit.


Dengan rasa panik dan tergesa-gesa kau buka pintu IGD dan berteriak “DOKTERR!! TOLONG ANAK SAYAA..” ucapmu dengan linangan air mata. Dengan kecekatan sang dokter, putramu langsung ditangani. Pikiran dan tatapan kosong yang kau alami terhenti ketika dokter memberitahukan kondisi putramu tidak sadarkan diri. Dokter pun belum bisa memberikan diagnosa penyakit yang diderita oleh putra kecilmu karena kurang lengkapnya alat yang ada di Rumah Sakit Prikasih.


Kau sedih, sangat sedih hingga siapapun yang melihatmu pasti akan ikut menangis tak tega. Menunggu kabar dari rumah sakit rujukan, kau makin sedih ketika dokter mengabarkan jika putramu harus dipindahkan ke ruang ICU. Air matamu terus menerus membasahi pipi menemanimu kala itu. Syukur kembali kau ucapkan, saat tepat pukul enam pagi Rumah Sakit Bunda Margonda menerima rujukan untuk putra kecilmu. Namun bagaikan mata air, air mata mu tak pernah habis kau keluarkan. Putramu harus menerima sakit saat bernafas saat pemasangan alat bantu nafas, ventilator


Bagai gelas kaca yang pecah berhamburan, hatimu kembali hancur ketika tahu putramu diharuskan rawat inap di ruang PICU masih dengan kondisi panas tinggi bahkan koma selama sepuluh hari lamanya. Tak ada hentinya rasa khawatir dan takutmu saat dokter mengatakan, putra kesayanganmu akan di tes cairan otak jika tidak ada perubahan juga. Segala cara telah dokter lakukan untuk kesembuhan putramu hingga pemberian obat dengan dosis tinggi yang jika tidak ada perubahan juga akan mengakibatkan gagal jantung pada putra kecil kesayanganmu.


Kembali isak tangis kau keluarkan, saat dokter memberi tahu lagi jika hanya ada dua pilihan. Pertama, putramu akan dilakukan pertolongan dengan cara kejut jantung yang mengakibatkan resiko patah tulang rusuk, dan pilihan kedua, kau dan keluargamu harus mengikhlaskan kepergian malaikat kecilmu. Dengan berat dan perasaan tidak tega akan resiko yang dialami putramu, kau memutuskan untuk menandatangani surat keputusan pilihan kedua.


Waktu terus berputar, hari berganti hari tak pernah putus doamu untuk putra kecilmu. Ibadah malam terus kau kerjakan, doa dan tangismu malam itu diiringi dengan turunnya hujan lebat dan membuatmu yakin atas dikabulkannya doa-doa yang kau panjatkan.  


“Ya Allah, jika memang ini jalan yang terbaik untuk putra hamba, jika memang Engkau lebih menyayanginya daripada hamba, hamba ikhlas lillahita’ala dengan segala keputusan-Mu, hamba sudah siap jika memang ini yang terbaik, dan jika memang Engkau memberi kesembuhan namun dengan keadaan cacat pada putra hamba, hamba ikhlas menerimanya” lantunan doamu kala itu.


Tangis terus mengiringi doa yang kau panjatkan, hingga kau mendapat firasat untuk mengumpulkan anggota keluarga kecilmu malam itu juga. Lengkap sudah di ruang tunggu rumah sakit, kau dengan suami, dan dua anak perempuanmu. Saat kau ingin memejamkan mata sejenak, tepat pukul 2.20 pagi pintu ruang tunggu dibuka oleh seorang perawat dan menyebutkan “keluarga anak Bakrie” nama putra kecilmu. 


Dengan diiringi perasaan dan firasat burukmu, kau yang biasanya saat ingin masuk ke ruang PICU rutin membasuh air wudhu terlebih dahulu, kali ini suster menyuruhmu untuk sesegera mungkin memasuki ruang PICU. Digandengnya tanganmu yang gemetar oleh ayah putra kecilmu sambil mengatakan kata-kata penguat untuk mu sembari berjalan bersama memasuki ruang PICU “Yang kuat ya bun, bunda harus kuat, kita harus kuat gak boleh lemah, semua untuk adik dan jangan meneteskan air mata.” 


Dinginnya suhu ruangan, membuat sesak menahan tangismu hingga sakit yang dirasakan pada tenggorokanmu. Dokter mengatakan “Buk pak, kondisi adik semakin menurun kita sudah mencoba semaksimal mungkin namun, tetap tidak ada perubahan. Di sini ibu dengan bapak sudah melakukan tanda tangan untuk tidak melakukan kejut jantung, dan keluarga sudah mengikhlaskan.” 


Kau dan suamimu menuntun kepergian putra kecilmu dengan posisi berada di kanan dan kiri ranjang tempat putramu terbaring lemah tak sadarkan diri. “Adek, kalau memang dedek udah ngga kuat, kalau memang dedek mau pergi duluan sebelum ayah dan bunda, pergi lah nak, kembali kepada sang Penciptamu, bunda ikhlas bunda ridho kalau dedek mau pergi duluan dari ayah dan bunda, bunda yakin disana dedek sudah ga sakit lagi, dedek sudah senang, dedek sudah di tempat yang enak. Bunda sudah ikhlas ridho lillahita’ala pergi nak, pergi dengan tenang pangeran kecil bunda.” 


Ayah menuntun dengan dua kalimat syahadat dan putra kecilmu langsung pergi meninggalkanmu, sang ayah, dan dua kakak perempuannya untuk selamanya. Berat rasanya ketika kau sangat ingin menangis keras dan memeluk putramu untuk yang terakhir kalinya. Air matamu tak lagi bisa jatuh dan hanya lemas yang kau rasakan di tubuhmu.


Sampai akhirnya, jenazah putra kesayanganmu dibawa pulang untuk dikebumikan. Hingga saat itu air matamu yang belakangan selalu membasahi pipimu, tak bisa lagi kau keluarkan setetespun, kau masih sangat shock atas kepergian putra kecilmu dan mengira jika putramu tidak meninggalkanmu selamanya, hanya tertidur pulas. (AS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lonjakan Kasus Covid-19 di Indonesia, Akankah Ada PPKM Lanjutan?

Ilustrasi virus Covid-19. Foto: Kementerian Kesehatan Kasus Covid-19 di Indonesia kembali mengalami peningkatan. Berdasarkan hal tersebut Ke...